Rabu, Maret 19, 2008

Jangan Salahkan Takdir


Pada saat reuni, baik itu reuni SD, SMP, SMA atau Perguruan Tinggi, salah satu topik yang paling seru untuk diomongin adalah karir dan keluarga. Ada yang karirnya melesat sehingga pada saat reuni dia datang dengan mengendarai BMW seri terbaru. Tetapi ada juga yang karirnya nyungsep sehingga hanya sanggup naik-turun angkot untuk sampai ke lokasi reuni. Ada yang rumah tangganya rukun dan sejahtera, ada juga yang rumah tangganya berantakan tak tentu arah.

Apabila kita dihadapkan pada kondisi yang kontras tersebut, biasanya dengan spontan kita menjustifikasi bahwa hal itu adalah “nasib” atau “takdir” yang telah ditentukan oleh Sang Penentu Takdir. Meskipun UI, UGM, ITS, ITB dan Kampus Ngetop lainnya telah meluluskan jutaan sarjana, tetapi tidak semua alumninya sukses dan berkarir cemerlang. Tidak jarang dalam suatu perusahaan, berisi sekelompok alumni Kampus Ngetop dari angkatan yang sama tetapi berbeda tingkatan manajemen. Ada yang jadi Direktur, tetapi ada juga yang jadi staf. Ya…sudah takdirnya seperti itu.

Lho…koq Takdir dibawa-bawa, apa urusannya ? Kalo memang kita tidak bisa mencapai hasil yang lebih baik dibandingkan temen kita waktu maen gundu, ya…jujur saja mengatakan bahwa kita gagal. Jangan menyalahkan Takdir. Ketika kegagalan menghampiri kita, dengan mudahnya kita mengkambing hitam-kan si Takdir dengan berkata “ Saya sudah berusaha dengan sungguh-sungguh, tetapi mungkin Tuhan belum mengizinkan. Mungkin sudah nasib saya seperti ini.”

Tuh…engga jantan khan? Kita selalu berlindung dibalik kata Takdir ketika tertimpa kesusahan. Karena kita tidak mau mengakui kegagalan dan selalu menyalahkan Takdir, maka kita jadi kehilangan momentum untuk bangkit. Semestinya, ketika kegagalan itu datang, kita harus segera melakukan evaluasi penyebab kegagalan. Engga perlu menyalahkan Nasib. Jika faktor kegagalan telah diketahui, langkah selanjutnya adalah mencari solusinya. Setelah solusi diketemukan, maka kita harus segera melakukan “action” atas solusi yang kita buat. Dengan demikian kita tidak larut dalam kesedihan dan kegagalan.

Jadi mulai sekarang janganlah kita membawa-bawa kata “Takdir/ Nasib” jika kita mengalami kegagalan. Saya percaya bahwa Tuhan memberikan Takdir yang baik bagi umatnya, tetapi seringkali kita gagal meraih “Takdir” itu dan menganggap bahwa kegagalan itulah Takdir kita.

1 komentar:

B-a-r-r-y mengatakan...

Setiap manusia mengukur kesuksesan itu secara subyektif. Ada yang memiliki BMW lalu berpikiran kalau sudah tidak ada lagi yang perlu dicapai dalam hidupnya. Namun ada juga yang memiliki kesehatan yang baik sebagai suatu goal dalam hidup.

Saya tahu banyak orang sukses yang mencapai suatu keberhasilan disaat umur sudah melewati 40 tahun atau lebih. Tidak semua yang berhasil setelah selesai sekolah akan terus berada di atas :)